Landasan Ideal dan Konstitusional
Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif
Politik luar negeri suatu
negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan sebagai suatu negara yang
berdaulat. Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur
hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas
internasional lainnya. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari politik luar
negeri yang dijalankan negara dan merupakan pencerminan dari kepentingan
nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik
luar negeri yang senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam
negeri dan perubahan
situasi internasional.
Landasan ideal dalam
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila yang merupakan dasar
negara Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan sebagai
pedoman dan pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia. Mohammad
Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri
Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi
pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh
sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila
merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri
Indonesia. Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh
bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa
di Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari
Pancasila.
Sedangkan landasan konstitusional dalam
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 alinea pertama “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan” dan
alinea keempat”…. dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial….”.
Tujuan politik luar negeri bebas aktif
adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan: “Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial….”
Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat
dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode
pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang
senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional.
Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde
Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif
sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno.
Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah
tanggal 1 November 1945 yang isinya adalah; politik damai dan hidup berdampingan
secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain; politik
bertetangga baik dan kerja sama dengan semua negara di bidang
ekonomi, politik dan lain-lain; serta selalu mengacu pada
Piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain.
Selanjutnya pada masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965 landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah
berdasarkan UUD 1945 yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama,
pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945, Amanat Presiden yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai
“Manifesto Politik Republik Indonesia”.
Amanat Presiden itu sendiri kemudian
dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara. Berkaitan dengan kebijakan politik
luar negeri, Manifesto tersebut memuat tujuan jangka panjang dan tujuan jangka
pendek, yaitu:
Tudjuan
djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme ditambah dengan
mempertahankan kepribadian Indonesia di tengahtengah tarikan-tarikan ke kanan dan
ke kiri jang sekarang sedang berlaku kepada negara kita dalam pergolakan dunia
menudju kepada suatu imbangan baru. Sementara dalam djangka pandjang di bidang
luar negeri, Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan imperialisme di
mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia jang kekal dan
abadi. Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai art jang
berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal kompromi, harus
radikal dan revolusioner.
(Panitia
Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971. Jakarta: Deplu, 1971, hlm.259)
Tujuan jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari
sejarah Indonesia, sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Walaupun Indonesia
sudah merdeka, perjuangan untuk melenyapkan imperialisme belum berakhir, sebab
negara-negara yang dianggap imperialis dan kolonialis (Barat), masih ada dan
berusaha menanamkan pengaruhnya. Indonesia berusaha pula menghindari dari
keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan masuk menjadi anggota Non Blok.
Pedoman Pelaksanaan Manifesto
Politik/Manipol Indonesia berdasarkan pada amanat Presiden tanggal 17 Agustus
1960 yang terkenal dengan nama “Djalanja Revolusi Kita”, yang menetapkan
penegasan mengenai cara-cara pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri.
Politik luar negeri Indonesia tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak
tanpa prinsip. Politik bebas tidak sekedar “cuci tangan”, tidak sekedar
defensif, tapi aktif dan berprinsip serta berpendirian.
Manipol, Djarek (Djalanja Revolusi
Kita), merupakan embrio kelahiran serta doktrin baru, yaitu dunia tidak terbagi
dalam Blok Barat, Blok Timur dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga. Akan tetapi
dunia terbagi menjadi dua Blok yang saling bertentangan yaitu New Emerging Forces/Nefos dan Old
Established Forces/Oldefos.
Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru
yang sedang bangkit. Sementara Oldefos merupakan kekuatan-kekuatan lama yang
sudah mapan. Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti
imperialis dan kolonialis yang lebih militan. Soekarno mewujudkan gagasan Nefos
dan Oldefos itu dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan konfrontatif dengan
negara-negara Barat.
Pada masa Orde Baru, landasan
operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan
beberapa peraturan formal, di antaranya adalah Ketetapan MPRS No. XII/
MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan kebijaksanaan
politik luar negeri Indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar
negeri Indonesia adalah:
1)
Bebas aktif, anti-imperialisme dan
kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
2)
Mengabdi kepada kepentingan nasional
dan amanat penderitaan rakyat.
Selanjutnya landasan operasional
kebijakan politik luar negeri RI dipertegas lagi dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tanggal 22 Maret 1973, yang
berisi:
1)
Terus melaksanakan politik luar negeri yang
bebas aktif dengan mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya
pembangunan ekonomi;
2)
Mengambil langkah-langkah untuk
memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga
memungkinkan negaranegara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri
melalui pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat wadah
dan kerja sama antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara;
3)
Mengembangkan kerja sama untuk
maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-badan internasional dan lebih
meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan
kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional.
Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru
dijabarkan dalam pola umum pembangunan jangka panjang dan pola umum Pelita dua
hingga enam, pada intinya menyebutkan bahwa dalam bidang politik luar negeri
yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan
peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan
perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera. Namun demikan, menarik untuk
dicatat bahwa TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966.
Perbedaan ini seiring dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto,
sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu didengungdengungkan oleh
Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan
dalam TAP MPR tahun 1973 di atas. Selain itu, sosok politik luar negeri
Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan
peningkatan kerja sama dengan dunia internasional.
Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978,
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan
untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. Realitas ini berbeda dengan
TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan
saja, yaitu bidang ekonomi. Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983, sasaran politik
luar negeri Indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci. Perubahan ini
menandakan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional
yang berkembang saat itu.
Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan
periode Reformasi yang dimulai dari masa pemerintahan B.J. Habibie sampai
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara substansif landasan operasional
politik luar negeri Indonesia dapat dilihat melalui: ketetapan MPR No.
IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004. GBHN ini menekankan
pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis
nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam integrasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Di antaranya adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu,
GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai bidang, khususnya
memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme
serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Selanjutnya ketetapan ini juga
menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan
hubungan luar negeri, yaitu:
1)
menegaskan kembali pelaksanaan politik
bebas dan aktif menuju pencapaian tujuan nasional;
2)
ikut serta di dalam perjanjian
internasional dan peningkatan kerja sama untuk kepentingan rakyat Indonesia;
3)
memperbaiki performa, penampilan
diplomat Indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di
semua bidang;
4)
meningkatkan kualitas diplomasi dalam
rangka mencapai pemulihan ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama
regional dan internasional;
5)
mengintensifkan kesiapan Indonesia
memasuki era perdagangan bebas;
6)
memperluas perjanjian ekstradisi dengan
negara-negara tetangga;
7)
mengintensifkan kerja sama dengan
negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas
dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.
Ketetapan MPR di atas, secara jelas
menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif,
berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas
antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala
bentuk penjajahan serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerja sama
internasional bagi kesejahteraan rakyat.
Pertanyaan
1.
apa yang dimaksud dengan landasan ideal
2.
mengapa Pancasila dijadikan sebagai
landasan ideal di Indonesia
3.
mengapa Indonesia menetapkan politik
luar negerinya berupa politik luar negeri bebas aktif
4.
apa perbedaan pelaksanaan politik luar
negeri pada masa orde lama dan pada masa orde baru
5.
bagaimana pelaksanaan politik luar
negeri Indonesia pada saat ini
6.
mengapa dalam pelaksanaan poltik luar
negeri harus berorientasi kepentingan nasional
7.
apa peranan MPR dalam melaksanakan
politik luar nrgeri Indonesia
Kerjakan di buku tulis kemudian foto
dan kirim melalui WA ke 085659063315
Jangan lupa mengisi Coment dengan
menuliskan nama dan kelas, jika tidak mengisi Coment dianggap
tidak hadir